Representasi Tari Pernikahan adat Suku Melayu Singkawang

Representasi Tari Pernikahan adat Suku Melayu Singkawang

 

 

Oleh: Bibi Suprianto

Dosen Luar Biasa (DLB) IAIN Pontianak

23 Oktober 2024, Saya pergi ke rumah adat Melayu untuk menonton festival budaya Melayu di Pontianak. Ada keunikan pada malam hari ketika saya datang ke rumah adat Melayu di kota Pontianak. Saya menonton lomba tari yang unik dari penampilan setiap daerah. Sebut saja tari pernikahan adat kota Singkawang. Tarian ini tidak hanya memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam sebuah budaya, tetapi juga nilai-nilai agama Islam yang kental pada masyarakat adat Melayu Singkawang. 

Ada keunikan yang muncul dalam tari pernikahan adat Melayu Singkawang. Keunikan tersebut terletak pada dua pengantin yang menikah kemudian dilakukan sebuah ritual keagamaan. Bagi masyarakat Melayu ritual masyarakat adat tidak sah jika tidak dilakukan sebuah ritual keagamaan. Awalnya, tari tersebut menggambarkan dua orang pasangan yang sedang bertemu di suatu tempat. Pertemuan itu kemudian memberikan pandangan cinta dari tatapan antara seorang pujangga laki-laki dan perempuan. Setelah mereka merasa tertarik antara satu dengan lainnya, kemudian mereka berdua melakukan pernikahan. Di pernikahan inilah, para penari merepresentasikan kebudayaan Melayu mulai dari hantaran, pernikahan yang dilakukan adat Melayu, kemudian setelah menikah mereka melakukan ritual tepung tawar untuk merepresentasikan Kembali antara nilai budaya dan ajaran Islam.

Dalam tradisi tepung tawar yang dilakukan oleh masyarakat Melayu, memiliki makna yang terdapat pada material atau bahan pada tepung tawar. Seperti beras Kuning, beras putih, dan air tepung tawar. Beras kuning melambangkan kejayaan bagi kehidupan manusia. Masyarakat Melayu yang telah menikah, lalu ditaburi dengan beras kuning menurut kepercayaan masyarakat adat Melayu, akan memberikan rezeki yang berlimpah bagi pengantin baru. Beras putih melambangkan kesucian. Masyarakat Melayu mempercayai bahwa Ketika beras putih ditaburkan, maka menggambarkan bahwa pernikahan dibangun dalam kesucian karena cinta Ilahi. Sedangkan air tepung tawar merepresentasikan bahwa air ini penenang jiwa untuk seorang manusia. 

Tari Melayu Singkawang mencoba menggambarkan tradisi pernihakan pada masyarakat lokal yang menjadi sebuah pertemuan antara budaya dan agama. Hal ini dikarenakan kebudayaan Melayu Singkawang memiliki nilai-nilai lokal yang berlandasrkan pada “Adat bersandikan syara’, syara’ bersandikan kitabullah” yang mana setiap tradisi lokal pada masyarakat Melayu mencerminkan nilai-nilai Islami pada masyarakat. Praktik secara Islami juga dilakukan dengan cara bersholawat kepada para pengantin, dan memainkan hadrah sebagai rasa syukur untuk pernikahan pada adat Melayu. Dengan melihat prosesi ferstival tari Melayu Singkawang, kita memahami bahwa tradisi lokal dapat direpresentasikan melalui sebuah seni.

Pemulihan Gangguang Kejiwaan pada Mayarakat Dayak Seberuang di Era 1970-an

Pemulihan Gangguang Kejiwaan pada Mayarakat Dayak Seberuang di Era 1970-an

 


Oleh: Saripaini

Dosen Luar Biasa (DLB)

IAIN Pontianak



Suatu hari di sela-sela kegiatan pendampingan menulis bagi masyarakat Adat di Rumah Punjung, saya dihampiri oleh Pak Ala, seorang tokoh Adat Dayak di kawasan Tempunak, Kabupaten Sintang. Pak Ala antusias menceritakan tentang tradisi perawatan mental yang berkembang pada masyarakat Dayak pada tahun 1970-an. Cerita ini langsung menarik perhatian saya, karena beberapa tahun terakhir saya cukup tertarik dengan diskusi indigenous counseling. Rasanya seperti menemukan benang merah antara cerita Pak Ala dengan minat saya, yang mebuat obrolan kami semakin asyik. Pak Ala memulai ceritanya sambil memegang kotak pengobatan yang biasa digunakan dukun sebagai tempat peralatan perdukunan, seperti jimat, batu, minyak, dan lain sebagainya. Tempat obat yang diwarnai merah hitam itu, diukir wajah kemungkinan gambaran makhluk yang mendapingi dukun. Menurut penuturan Pak Ala, dahulu, ketika masyarakat Dayak jauh dari jangkauan medis dan belum memeluk agama, pengobatan dilakukan secara tradisional yang kerap dirangkaikan dengan ritual adat. Satu di antara penyembuhan yang dilakukan melalui ritual adat penyembuhan sakit gila. Gila biasanya dialami oleh perempuan pasca melahirkan. Menurut pengetahuan yang berkembang pada masyarakat Dayak Desa dan Seberuang di kawasan Tempunak kala itu, perempuan pasca melahirkan memang rentan mengalami kegilaan, karena lebih rentan diganggu oleh makhluk halus. Ya, di masa lampau masyarakat Dayak meyakini bahwa kegilaan yang dialami oleh manusia disebabkan oleh gangguan jin/makhluk halus. Jin pengganggu dapat menyebabkan seorang lupa dengan dirinya, anak, suami, serta keluarga.

Untuk menyembuhkan penyakit gila, masyarakat Dayak akan melaksanakan ritual yang cukup besar, dengan 7 ekor ayam dan 3 ekor babi sebagai sejaji. Ritual dipimpin oleh seorang dukun yang menjadi perantara antara manusia dengan roh leluhur atau jin pengganggu. Dalam proses penyembuhan, dukun dengan bantuan jin ular sawa disertai mantra akan membelah kepala orang yang gila dengan senjata yang sangat tajam (parang), sehingga kepala si pasien terbuka dan darah menjiprat. Tindakan tersebut diyakini sebagai proses pengeluaran jin dari dalam tubuh manusia. Kemudian setelahnya dukun akan mengusap kepala pasiennya dengan tangan, sehingga tidak kelihatan luka sama sekali. Kepala yang dibelah hingga berdarah, kembali utuh tampa bekas luka.

Setelahnya pasien hanya akan merasakan lemah dan hanya perlu dirawat hingga kembali pulih, sementara gilanya sudah sembuh. Dia telah bisanya mengingat diri, anak, dan suaminya. Mereka meyakini bahwa jin pengganggu telah dikeluarkan saat kepala dibelah. Dukun telah berhasil bernegosiasi dengan jin pengganggu dengan memberikannya sesajian dan memintanya untuk kembali ke tempat semula. 

“Wah, menarik-menarik,” reaksiku di akhir cerita sambil menyimpan kengerian membayangkan saat kepala dibelah dengan senjata tajam dan darahnya muncrat ke mana-mana. “Kalau sekarang bagaimana pak? Apa ritual itu masih dilakukan?”

“Tidak lagi. Sekarang kita sudah mengenal medis, serta sudah memeluk agama. Semenjak beragama, makhluk halus seperti itu sudah tidak mau lagi mendekat, karena masyarakat tidak percaya.”

“Jadi ini adalah tentang kepercayaan ya pak, kalau tak percaya pengobatannya tidak akan berhasil.”

“Iya.”

Keyakinan sebagai Instrumen Utama dalam Proses Pemulihan 

Meskipun zaman dan teknologi terus berkembang, serta kehidupan beragama semakin maju, catatan sejarah dan pengetahuan lokal yang pernah berkembang di dalam ruang sosial masyarakat adat tidak bisa dihapus. Tindakan yang saat ini dilabeli dengan istilah “mitos” ternyata pernah menjadi bagian dari alternatif pemecahan masalah yang pernah mentradisi. Dalam kata lain, praktik ritual adat terhadap pemulihan gangguan kejiwaan yang berkembang pada Dayak Seberuang telah teruji melalui pengalaman masyarakat adat.

Tapi, saat ini pengobatan melalui ritual adat kerap dianggap tidak relevan lagi. Salah satu alasannya adalah kemanjuran pengobatan secara tradisional kerap kali tidak dapat dibuktikan. Hal ini berkaitan dengan keyakinan, menurut masyarakat adat pengobatan tradisional akan efektif jika dilakukan tanpa keraguan.  Tapi, sebagai kelompok masyarakat yang telah memeluk agama, mereka juga dihadapkan pada tuntutan untuk tidak melanggar aturan agama melalui riual adat yang dianggap bertetangan. Posisi dilematis ini memicu keraguan, sehingga ritual adat yang semula menjadi alternatif penyelesaian masalah, justru dipandang sebagai tindakan yang bermasalah. Fenomena ini menampilkan bahwa telah terjadi transformasi budaya dalam kehidupan masyarakat Dayak Seberuang di Sintang. 

Terlepas dari difungsi ritual adat sebagai alternatif penyelesaian masalah, saya melihat bahwa keyakinan adalah kunci penting dalam proses pemulihan. Diskusi tentang bagaimana keyakinan memiliki kapasitas untuk mempengruhi situasi terasa penting dan menarik, karena keyakinan kerap kali memberikan kekuatan tersendiri dalam menghadapi masalah. Dalam konteks pemulihan ini, keyakinan menjadi instrumen utama keberhasilan proses pemulihan. Orang yang yakin dengan proses penyembuhan, baik secara spiritual maupun emosional, cendrung mengalami hasil yang lebih positif.

Berdasarkan penuturan dari Pak Ala, maka dapat dipahami bahwa keyakinan memainkan peran penting dalam proses pemulihan. Keyakinan dapat mendatangkan keajaiban yang melampaui logika manusia. Misalnya, kepala yang sudah dibelah bisa kembali menyatu tanpa bekas, seolah membelah air yang akan menyatu tanpa jejak. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya peran keyakinan terhadap keberhasilan dari proses penyembuhan. 

Meskipun ritual adat dianggap kurang relevan sebagai solusi, namun peran keyakinan dalam mempengaruhi situasi tetap penting, terutama dalam konteks indigenous counseling. Kerangka kerja ritual adat (cara adat) dalam pemulihan gangguan kejiwaan masyarakat Dayak Seberuang di masa lalu menjadi gambaran penting tentang bagaimana budaya dan spiritualitas lokal dapat memberikan solusi terhadap masalah psikologis. Cara-cara masyarakat adat dalam menyelesaikan masalah psikologis di masalah lampau, boleh jadi masih untuk dipelajari dan diadaptasi dalam konteks konseling moderen.

Manfaat ikan Belidak

Manfaat ikan Belidak

 

Manfaat Ikan Belidak


Sumber poto: Prof Zaenuddin Hadi Prasojo & Didi Darmadi, M.Pd


       Ikan belidak mungkin sudah tidak asing lagi bagi banyak orang. Ikan ini biasanya ditemukan diperairan sungai air tawar Kalimantan Barat. Banyak orang-orang memancing dan mencari ikan belidak sebagai kebutuhan makanan. Apalagi ikan belidak sangat enak jika dimasak dan diolah menjadi makanan khas Kalimantan Barat. Seperti Kerupuk basah yang diolah menjadi khas dari makanan Kapuas Hulu di Kalimantan Barat. Namun, apa saja kandungan yang ada dalam ikan Belidak tersebut? Dari sumber yang dikutip oleh betani.co.id ikan belidak mengandung banyak gizi seperti kalori 120 kal, protein 16,5 g, lemak 5,3 g, kabrohidrat 0,4 g, kalsium 52 mg, fosfor 216 mg, besi 1,1 g, Vitamin A 233 SI, Vitamin B 0,1 mg, Vitamin C 0 mg. Dari kandungan tersebut ikan ini sangat dicari oleh banyak orang.

    Selain itu, ikan Belidak juga memiliki kandungan omega 3. Omega ini menurut para peneliti membuktikan bahwa asam lemak omega-3 terbukti secara signifikan mengurangi resiko kematian mendadak yang disebabkan oleh aritmia jantung dan semua penyebab kematian pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang diketahui. Selain itu, dosis asam lemak omega-3 yang tinggi diperlukan untuk mengurangi peningkatan kadar trigliserida (2 hingga 4 g per hari) dan untuk mengurangi kekauan di pagi hari dan jumlah sendi lunak pada pasien dengan rheumatoid arthritis (setidaknya 3 g perhari) serta penurunan tekanan darah yang sederhana terjadi dengan dosis asam lemak omega 3 yang jauh lebih tinggi. Dengan mengkonsumsi ikan belidak dapat membantu Kesehatan seseorang.

Eksistensi Sampan Sebagai Alat  Transpotasi Air Masyarakat Tepian Sungai Kapuas

Eksistensi Sampan Sebagai Alat Transpotasi Air Masyarakat Tepian Sungai Kapuas

 



 Sampan menjadi alat tranpotasi bersejarah bagi masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai-sungai besar yang melintasi Kalimantan Barat seperti, Sungai Kapuas, Sungai Landak, dan sungai-sungai lainnya. Sampan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak dulu, karena Sampan menjadi alat transpotasi yang paling efektif digunakan untuk menghubungkan aktivitas sosial menyeberangi sungai.

      Sampan tidak hanya digunakan oleh masyarakat yang tinggal di tepian sungai-sungai besar seperti Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Masyarakat yang tinggal di daerah perkampunganpun juga menggunakan Sampan sebagai alat transpotasi guna mendukung aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Sampan adalah perahu kecil yang terbuat dari kayu, masyarakat Kalimantan Barat biasanya menggunakan Kayu Belian untuk membangun badan Sampan, karena memang kayu ini memiliki tekstur yang keras dan tidak mudah busuk terkena air. Selain Kayu Belian, kayu-kayu lain juga digunakan menjadi bagian dari badan sampan, kayu-kayu tersebut diantaranya adalah kayu mahoni, kayu nangka, kayu sengon, dan kayu-kayu lainnya. Namun seiring perkembang zaman, saat ini juga banyak Sampan yang dibuat dengan menggunakan bahan baku viber.

      Pada awalnya, Sampan digunakan sebagai alat transpotasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari, karena memang daerah Kalimantan Barat merupakan daerah dengan keberadaan sungai yang sangat banyak. Sampan digunakan untuk melakukan hubungan dengan masyarakat yang berada diseberang sungai. Selain itu, Sampan digunakan untuk mencari ikan, berburu, dan pergi ke kebun yang terletak di tengah hutan. Hidup menyusuri sungai dalam melakukan aktivitas sosial dan ekonomi sudah menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Barat.

      Penggunaan Sampan pada zaman dulu juga sebagai penunjang karena dulu daerah Kalimantan Barat masih berupa hutan belantara, dan dengan menggunakan Sampan masyarakat bisa memangkas waktu perjalanan yang lebih singkat daripada harus melakukan perjalanan darat membelah hutan. Sampan dapat dikendalikan dengan menggunakan dayung yang terbuat dari kayu yang masing-masing ujungnya dibuat pipih agar bisa mendorong air dan membuat Sampan bergerak. Bentuk dayung dibuat dengan selera pemiliknya, karena selain dayung yang mempunyai pipih di kedua sisinya, ada juga dayung yang dibuat pipih pada salah satu sisi saja dan sisi sebaliknya digunakan sebagai pegangan untuk mengayunkannya ke dalam air. Selain berfungsi sebagai penggerak Sampan agar dapat berjalan diatas air, dayung juga berfungsi sebagai alat pengendali Sampan agar Sampan dapat berjalan sesuai dengan kehendak pengemudinya.

Seiring berkembangnya zaman dan munculnya teknologi, saat ini Sampan banyak yang sudah menggunakan mesin perahu yang di pasang di bagian belakang. Fungsi mesin ini dapat mendorong perahu berjalan cepat diatas air dan tidak memerlukan tenaga manual seperti menggunakan dayung. Dengan menggunakan mesin, Sampan bisa berjalan dengan cepat diatas air dan dapat dengan cepat menjangkau tempat tujuan. 

Pemanfaatan Sampan sebagai alat transpotasi penyeberangan Sungai Kapuas di Pontianak telah dilakukan sejak lama. Hal ini menjadi eksistensi Sampan yang terus bertahan dan tak lekang oleh perkembangan zaman. Meskipun di Kota Pontianak sudah dibangun jembantan yang saling menghubungkan, Sampan tetap menjadi sarana transpotasi yang terus dijaga kelestariannya oleh masyarakat di sekitar tepian Sungai Kapuas. Dengan modernisasi menggunakan mesin perahu, Sampan saat ini juga menjadi sarana transpotasi air  yang menunjang perekonomian masyarakat karena Sampan bisa disewakan untuk sarana transpotasi wisata menyusuri Sungai Kapuas.

     Hampir setiap masyarakat yang tinggal di tepian Sungai Kapuas dan Sungai Landak, sebagian banyak dari mereka mempunyai Sampan, baik untuk digunakan sendiri sebagai alat tranpotasi air pribadi atau untuk disewakan dengan membuka jasa layanan penyeberangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hampir setiap saat ketika siang hari kita dapat melihat lalu lalang Sampan yang melintas baik di Sungai Kapuas maupun Sungai Landak. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi Sampan tidak pernah pudar digunakan oleh masyarakat tepian sungai.

    Dengan semakin kreatifnya masyarakat saat ini, Sampan yang dulunya identik dengan warna alami kayu. Saat ini Sampan sudah dimodifikasi dengan menambahkan atribut-atribut yang memperindah Sampan, seperti mengecatnya menjadi warna-warni atu menambahkan tempat duduk yang terbuat dari busa. Sehingga dapat menambah kenyamanan penumpang ketika menaiki Sampan.

Sampan sebenarnya bernnama perahu Tiongkok yang terbuat dari kayu dan memiliki ukuran panjang sekitar 3-6 meter dan lebar 1-1 1/5 meter, namun bisa juga lebih besar sesuai kebutuhan orang yang membuat Sampan. Di Sungai Kapuas dan Sungai Landak saat ini Sampan menjadi salah satu sumber ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar sungai. Penyedian jasa transpotasi penyeberangan dilakukan sebagai mata pencaharian. Jasa pennyeberang ini juga terbilang murah, hanya sekitar Rp 10.000 sampai Rp 15.000/orang yang ingin menggunakan jasa mereka untuk menyeberang Sugai Kapuas dan Sungai Landak.



Penulis    : Zakaria Effendi
publikasi : 12 Maret 2021