Eksplorasi Sejarah Lisan dan Keindahan Wisata Bahari Pulau Lemukutan

Eksplorasi Sejarah Lisan dan Keindahan Wisata Bahari Pulau Lemukutan

        



Oleh: Saripaini

Dosen LB IAIN Pontianak
E-mail: 
saripainikuliah@gmail.com

 

Pulau Lemukutan merupakan salah satu wisata bahari primadona di Kalimantan Barat. Pantai biru jernih yang memperlihatkan keindahan terumbu karang menjadi daya tarik wisatan lokal hingga manca negara. Wisatawan yang datang berlibur dapat menikmati berbagai aktivitas, seperti snorklingdiving, dan banana boat. Selain itu mereka juga dapat menginap di homestay milik masyarakat lokal yang terletak di tepi pantai, memberikan pengalaman auntentik. Wisata Pulau Lemungkutan berpusat di kawasan Teluk Cina dan Melano. Kedua lokasi ini merupakan tempat strategis bagi wisata bahari.

Tiket masuk ke kawasan wisata Pulau Lemukutan adalah 10.000/orang, sementara harga sewa homestay milik masarakat lokal pada umumnya berkisar 250.000 – 300.000 /malam. Fasilitas yang diperoleh, yakni kamar tidur, toilet, dan dapur bersama. 1 kamar biasanya dapat diisi oleh 2-6 orang. Namun, pengelola wisata pulau Lemungkutan juga banyak menawarkan paket wisata, dimulai dari 299.000/orang dengan fasilitas penyebrangan, kamar tidur, dan makan. Harga paket biasanya menyesuaikan fasilitas dan waktu.

Secara administratif Pulau Lemukutan terletak di Desa Lemungkutan Kecamatan Sungai Raya Kepulauan Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat. Perjalanan dari Kota Pontianak menuju Pulau Lemungkutan akan memakan waktu 2-3 jam perjalanan darat menuju Dermaga Teluk Suak, Kabupaten Bengkayang, kemudian dilanjutkan dengan kapal motor kurang lebih 1 jam. Luas Desa Pulau Lemungkutan 1453 Ha yang terbagi menjadi tiga Dusun, yakni: Dusun Batu Barat, Dusun Karang Timur, Dusun Karang Utara. 

Pulau Lemukutan menawarkan pengalaman wisata bahari yang memukau, terutama keindahan terumbu karangnya. Saat snorkeling, wisatawan dapat menyaksikan pesona bawah laut dengan ikan-ikan kecil yang menggemaskan, seperti ikan nemo, berenang di antara karang-karang warna-warni. Pengalaman ini semakin lengkap karena wisatawan akan didampingi oleh instruktur yang siap membantu dan memastikan keamanan. Tidak hanya itu, instruktur juga akan mendokumentasikan momen-momen menyenangkan saat eksplorasi, membuat perjalanan semakin berkesan. Dengan segala kemudahannya, Pulau Lemukutan menjadi tempat sempurna bagi para pecinta alam bawah laut untuk merasakan kedamaian di bawah air. 

Saat malam tiba, Pulau Lemukutan tetap menawarkan kenyamanan yang membuat pengunjung betah. Aktivitas barbeque di tepi pantai menjadi salah satu momen yang paling dinantikan, menciptakan suasana hangat dan akrab. Penginapan di pulau ini biasanya telah menyiapkan perlengkapan barbeque, sementara ikan segar dapat dibeli dari masyarakat lokal atau sudah termasuk dalam paket wisata. Wisatawan dapat menikmati malam dengan berkumpul bersama teman atau keluarga, berbagi cerita di tepi laut sambil menyantap makanan yang baru saja dibakar. Dengan suasana yang tenang dan angin laut yang sejuk, malam di Pulau Lemukutan memberikan kesan relaksasi sempurna setelah seharian menikmati keindahan alam.

Bagi orang-orang yang datang untuk menikmati keindahan alam, Pulau Lemukutan adalah tempat berwisata, tempat melepas penat, dan tempat bersenang-senang. Namun, bagi penduduk lokal Pulau Lemukutan adalah tempat di mana ia hidup, tinggal, dan dibesarkan. Jauh sebelum eksistensi Pulau Lemukutan sebagai lokasi pariwisata, masyarakat lokal telah memiliki sistem kehidupan yang merujuk pada nilai baik dan buruk berdasarkan pertimbangan terhadap keyakinan, agama, filosofis, dan budaya. Sejarah terbentuknya pemukiman telah dimulai puluhan hingga ratusan tahun yang lalu.

Penduduk Lokal yang mendiami Pulau Lemukutan adalah Orang Melayu Sambas, namun suku lainnya juga dapat ditemui, seperti suku Cina/Tionghoa, Dayak, Bugis, Jawa. Adapun bahasa yang kerap kali muncul ruang interaksi sosial di Pulau Lemungkutan adalah bahasa Melayu Sambas.  Pada umumnya masyarakat yang tinggal di kawasan Teluk Cina adalah pendatang, sementara masyarakat lokal banyak mendiami kawasan Melano dan Dusun Batu Barat.

Saat ini, Pulau Lemukutan dihuni oleh kelompok Melayu Sambas yang dipercaya sebagai penduduk asli wilayah tersebut. Namun, masyarakat juga mengakui bahwa di masa lalu pulau ini pernah dihuni oleh komunitas Tionghoa, yang namanya diabadikan dalam salah satu lokasi terkenal, yakni Teluk Cina. Hal ini menunjukkan bahwa pulau tersebut memiliki sejarah keberagaman budaya yang kaya. Selain itu, karena Pulau Lemukutan merupakan bagian dari Kerajaan Sambas yang bercorak Islam, komunitas Muslim Melayu Sambas telah lama menjadi bagian integral dari masyarakat pulau ini.

Meskipun Pulau Lemukutan baru dikenal luas sebagai destinasi wisata sejak tahun 2015 yang ditandai dengan dimulainya pendirian homestay, sejarah keberadaan pulau ini jauh lebih tua. Pada masa lampau pulau ini bukan lokasi wisata, melainkan titik perlawanan penting melawan serangan lanun (bajak laut) yang sering mengancam wilayah Sambas. Letak geografis Pulau Lemukutan yang terpisah dari daratan Pulau Kalimantan memungkinkan pulau ini berfungsi sebagai pos pemantauan kapal asing yang akan memasuki kawasan Sambas.  

Berdasarkan narasi lisan yang berkembang pada masyarakat lokal, Pulau Lemungkutan merupakan satu kawasan yang mendapatkan perhatian khusus dari kerajaan Sambas. Cerita lisan menyebutkan bahwa di masa lampau Raja Sambas secara khusus mengutus Panglima yang bernama Datuk Meruhum untuk berjaga di Pulau Lemukutan. Masyarakat setempat meyakini, bahwa pada masa lalu terdapat meriam yang digunakan oleh panglima untuk menjaga keamanan dari ancaman lanun. Saat ini, meskipun meriam tersebut dianggap sebagai senjata gaib, keberadaannya disimbolkan melalui miniatur meriam yang dipajang di pulau. Bukti lain dari jejak pertahanan masa lampau dapat ditemukan di Dusun Batu Barat, Desa Pulau Lemungkutan, di mana terdapat kuburan-kuburan tua yang menunjukkan adanya pemukiman lama di pulau tersebut. Satu di antara kuburan tua tersebut diyakini sebagai makam “Tan” (Keturunan Raja Sambas).

Sejarah Lisan yang berkembang pada masyarakat lokal menambah daya tarik Pulau Lemukutan sebagai destinasi wisata yang unik. Cerita-cerita lama tentang eksistensi pulau ini, seperti peran strategisnya dalam pertahanan Kerajaan Sambas, meriam gaib, hingga keberadaan tokoh penting seperti Datuk Meruhum, memberikan warna tersediri dalam pengalaman wisata. Bukti peninggalan sejarah, seperti kompleks makam tua dan miniatur meriam gaib, memperkuat daya tarik bagi wisatawan. Hal ini akan memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk belajar lebih dalam mengenai kekayaan sejarah pulau Lemukutan.

Pengintegrasian keindahan alam dan narasi sejarah yang kaya dari Pulau Lemukutan menawarkan pengalaman wisata yang tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga menghidupkan kembali kisah masa lalu. Dengan demikan, Pulau Lemukutan dapat menjadi tujuan wisata yang berharga. 

Semoga bermanfaat…

Tari Semah Laut menggambarkan kehidupan Nelayan dari Masyarakat Melayu di Kayong Utara

Tari Semah Laut menggambarkan kehidupan Nelayan dari Masyarakat Melayu di Kayong Utara


 Oleh: Bibi Suprianto
Dosen Luar Biasa (DLB)
IAIN Pontianak

Festival Melayu di Pontianak memberikan warna yang menarik dalam menggambarkan tradisi lokal pada masyarakat adat. Tari Tradisi Semah laut yang dibawa oleh penari Kayong Utara mencerminkan nilai-nilai budaya lokal yang kental akan pengetahuan tradisional pada masyarakat adat. Hal ini dikarenakan bahwa tradisi Semah Laut menjadi penampilan yang apik bagi penari dari Kayong Utara. Saya melihat ada gerakan yang unik saat tari semah laut direpresentasikan di panggung. Para penari yang menggunakan pakaian bewarna merah, dan membawa kapal, serta bernari-nari adalah bentuk yang mengambarkan symbol dan makna secara filosofis. Makna inillah yang membuat saya terpana dan terkagum saat melihat para penari dari Kayong Utara menampilkan seni mereka. 

 

Tari Tradisi Semah Laut menggambarkan bahwa para Nelayan yang bekerja memiliki pengetahuan lokal dalam menjaga alam di sungai. Tari ini selain menggambarkan masyarakat Melayu Kayong Utara yang gemar mencari ikan sebagai Nelayan, tari ini juga menggambarkan bahwa masyarakat Kayong Utara memiliki ritual dalam menjaga hubungan mereka dengan alam. Hal ini dikarenakan bahwa tradisi Semah Laut merupakan tradisi yang diwarisi oleh para leluhur untuk dijadikan sebuah kepercayaan lokal, dan memiliki nilai-nilai kearifan pada masyarakat adat. 

 

Mereka percaya bahwa masyarakat lokal harus menjaga sungai dari kehidupan sosial. Jika mereka memutuskan hubungan dengan alam atau leluhur yang ada di sungai, maka akan mengakibatkan bencana alam, bahkan susahnya mencari ikan di laut karena konsep masyarakat adat tidak menghargai leluhur di parairan. Tari Semah Laut seakan-akan menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat adat selalu berdampingan dengan kehidupan para leluhur. Konsep inilah yang disebut sebagai ilmu ghaib, yang menyatakan bahwa manusia selalui memiliki spiritualitas dan hubungan dengan roh leluhur. Tari Semah laut sangat penting bagi masyarakat Kayong Utara, mereka menampilkan seni ini untuk memberikan pengetahuan lokal dalam tradisi adat istiadat masyarakat Melayu. Dengan memahami adanya tradisi pada masyarakat lokal, maka akan memberikan kepedulian masyarakat Melayu dalam menjaga alam terutama menjaga laut dari kerusakan akibat ulah manusia. 

Representasi Tari Pernikahan adat Suku Melayu Singkawang

Representasi Tari Pernikahan adat Suku Melayu Singkawang

 

 

Oleh: Bibi Suprianto

Dosen Luar Biasa (DLB) IAIN Pontianak

23 Oktober 2024, Saya pergi ke rumah adat Melayu untuk menonton festival budaya Melayu di Pontianak. Ada keunikan pada malam hari ketika saya datang ke rumah adat Melayu di kota Pontianak. Saya menonton lomba tari yang unik dari penampilan setiap daerah. Sebut saja tari pernikahan adat kota Singkawang. Tarian ini tidak hanya memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam sebuah budaya, tetapi juga nilai-nilai agama Islam yang kental pada masyarakat adat Melayu Singkawang. 

Ada keunikan yang muncul dalam tari pernikahan adat Melayu Singkawang. Keunikan tersebut terletak pada dua pengantin yang menikah kemudian dilakukan sebuah ritual keagamaan. Bagi masyarakat Melayu ritual masyarakat adat tidak sah jika tidak dilakukan sebuah ritual keagamaan. Awalnya, tari tersebut menggambarkan dua orang pasangan yang sedang bertemu di suatu tempat. Pertemuan itu kemudian memberikan pandangan cinta dari tatapan antara seorang pujangga laki-laki dan perempuan. Setelah mereka merasa tertarik antara satu dengan lainnya, kemudian mereka berdua melakukan pernikahan. Di pernikahan inilah, para penari merepresentasikan kebudayaan Melayu mulai dari hantaran, pernikahan yang dilakukan adat Melayu, kemudian setelah menikah mereka melakukan ritual tepung tawar untuk merepresentasikan Kembali antara nilai budaya dan ajaran Islam.

Dalam tradisi tepung tawar yang dilakukan oleh masyarakat Melayu, memiliki makna yang terdapat pada material atau bahan pada tepung tawar. Seperti beras Kuning, beras putih, dan air tepung tawar. Beras kuning melambangkan kejayaan bagi kehidupan manusia. Masyarakat Melayu yang telah menikah, lalu ditaburi dengan beras kuning menurut kepercayaan masyarakat adat Melayu, akan memberikan rezeki yang berlimpah bagi pengantin baru. Beras putih melambangkan kesucian. Masyarakat Melayu mempercayai bahwa Ketika beras putih ditaburkan, maka menggambarkan bahwa pernikahan dibangun dalam kesucian karena cinta Ilahi. Sedangkan air tepung tawar merepresentasikan bahwa air ini penenang jiwa untuk seorang manusia. 

Tari Melayu Singkawang mencoba menggambarkan tradisi pernihakan pada masyarakat lokal yang menjadi sebuah pertemuan antara budaya dan agama. Hal ini dikarenakan kebudayaan Melayu Singkawang memiliki nilai-nilai lokal yang berlandasrkan pada “Adat bersandikan syara’, syara’ bersandikan kitabullah” yang mana setiap tradisi lokal pada masyarakat Melayu mencerminkan nilai-nilai Islami pada masyarakat. Praktik secara Islami juga dilakukan dengan cara bersholawat kepada para pengantin, dan memainkan hadrah sebagai rasa syukur untuk pernikahan pada adat Melayu. Dengan melihat prosesi ferstival tari Melayu Singkawang, kita memahami bahwa tradisi lokal dapat direpresentasikan melalui sebuah seni.

Pemulihan Gangguang Kejiwaan pada Mayarakat Dayak Seberuang di Era 1970-an

Pemulihan Gangguang Kejiwaan pada Mayarakat Dayak Seberuang di Era 1970-an

 


Oleh: Saripaini

Dosen Luar Biasa (DLB)

IAIN Pontianak



Suatu hari di sela-sela kegiatan pendampingan menulis bagi masyarakat Adat di Rumah Punjung, saya dihampiri oleh Pak Ala, seorang tokoh Adat Dayak di kawasan Tempunak, Kabupaten Sintang. Pak Ala antusias menceritakan tentang tradisi perawatan mental yang berkembang pada masyarakat Dayak pada tahun 1970-an. Cerita ini langsung menarik perhatian saya, karena beberapa tahun terakhir saya cukup tertarik dengan diskusi indigenous counseling. Rasanya seperti menemukan benang merah antara cerita Pak Ala dengan minat saya, yang mebuat obrolan kami semakin asyik. Pak Ala memulai ceritanya sambil memegang kotak pengobatan yang biasa digunakan dukun sebagai tempat peralatan perdukunan, seperti jimat, batu, minyak, dan lain sebagainya. Tempat obat yang diwarnai merah hitam itu, diukir wajah kemungkinan gambaran makhluk yang mendapingi dukun. Menurut penuturan Pak Ala, dahulu, ketika masyarakat Dayak jauh dari jangkauan medis dan belum memeluk agama, pengobatan dilakukan secara tradisional yang kerap dirangkaikan dengan ritual adat. Satu di antara penyembuhan yang dilakukan melalui ritual adat penyembuhan sakit gila. Gila biasanya dialami oleh perempuan pasca melahirkan. Menurut pengetahuan yang berkembang pada masyarakat Dayak Desa dan Seberuang di kawasan Tempunak kala itu, perempuan pasca melahirkan memang rentan mengalami kegilaan, karena lebih rentan diganggu oleh makhluk halus. Ya, di masa lampau masyarakat Dayak meyakini bahwa kegilaan yang dialami oleh manusia disebabkan oleh gangguan jin/makhluk halus. Jin pengganggu dapat menyebabkan seorang lupa dengan dirinya, anak, suami, serta keluarga.

Untuk menyembuhkan penyakit gila, masyarakat Dayak akan melaksanakan ritual yang cukup besar, dengan 7 ekor ayam dan 3 ekor babi sebagai sejaji. Ritual dipimpin oleh seorang dukun yang menjadi perantara antara manusia dengan roh leluhur atau jin pengganggu. Dalam proses penyembuhan, dukun dengan bantuan jin ular sawa disertai mantra akan membelah kepala orang yang gila dengan senjata yang sangat tajam (parang), sehingga kepala si pasien terbuka dan darah menjiprat. Tindakan tersebut diyakini sebagai proses pengeluaran jin dari dalam tubuh manusia. Kemudian setelahnya dukun akan mengusap kepala pasiennya dengan tangan, sehingga tidak kelihatan luka sama sekali. Kepala yang dibelah hingga berdarah, kembali utuh tampa bekas luka.

Setelahnya pasien hanya akan merasakan lemah dan hanya perlu dirawat hingga kembali pulih, sementara gilanya sudah sembuh. Dia telah bisanya mengingat diri, anak, dan suaminya. Mereka meyakini bahwa jin pengganggu telah dikeluarkan saat kepala dibelah. Dukun telah berhasil bernegosiasi dengan jin pengganggu dengan memberikannya sesajian dan memintanya untuk kembali ke tempat semula. 

“Wah, menarik-menarik,” reaksiku di akhir cerita sambil menyimpan kengerian membayangkan saat kepala dibelah dengan senjata tajam dan darahnya muncrat ke mana-mana. “Kalau sekarang bagaimana pak? Apa ritual itu masih dilakukan?”

“Tidak lagi. Sekarang kita sudah mengenal medis, serta sudah memeluk agama. Semenjak beragama, makhluk halus seperti itu sudah tidak mau lagi mendekat, karena masyarakat tidak percaya.”

“Jadi ini adalah tentang kepercayaan ya pak, kalau tak percaya pengobatannya tidak akan berhasil.”

“Iya.”

Keyakinan sebagai Instrumen Utama dalam Proses Pemulihan 

Meskipun zaman dan teknologi terus berkembang, serta kehidupan beragama semakin maju, catatan sejarah dan pengetahuan lokal yang pernah berkembang di dalam ruang sosial masyarakat adat tidak bisa dihapus. Tindakan yang saat ini dilabeli dengan istilah “mitos” ternyata pernah menjadi bagian dari alternatif pemecahan masalah yang pernah mentradisi. Dalam kata lain, praktik ritual adat terhadap pemulihan gangguan kejiwaan yang berkembang pada Dayak Seberuang telah teruji melalui pengalaman masyarakat adat.

Tapi, saat ini pengobatan melalui ritual adat kerap dianggap tidak relevan lagi. Salah satu alasannya adalah kemanjuran pengobatan secara tradisional kerap kali tidak dapat dibuktikan. Hal ini berkaitan dengan keyakinan, menurut masyarakat adat pengobatan tradisional akan efektif jika dilakukan tanpa keraguan.  Tapi, sebagai kelompok masyarakat yang telah memeluk agama, mereka juga dihadapkan pada tuntutan untuk tidak melanggar aturan agama melalui riual adat yang dianggap bertetangan. Posisi dilematis ini memicu keraguan, sehingga ritual adat yang semula menjadi alternatif penyelesaian masalah, justru dipandang sebagai tindakan yang bermasalah. Fenomena ini menampilkan bahwa telah terjadi transformasi budaya dalam kehidupan masyarakat Dayak Seberuang di Sintang. 

Terlepas dari difungsi ritual adat sebagai alternatif penyelesaian masalah, saya melihat bahwa keyakinan adalah kunci penting dalam proses pemulihan. Diskusi tentang bagaimana keyakinan memiliki kapasitas untuk mempengruhi situasi terasa penting dan menarik, karena keyakinan kerap kali memberikan kekuatan tersendiri dalam menghadapi masalah. Dalam konteks pemulihan ini, keyakinan menjadi instrumen utama keberhasilan proses pemulihan. Orang yang yakin dengan proses penyembuhan, baik secara spiritual maupun emosional, cendrung mengalami hasil yang lebih positif.

Berdasarkan penuturan dari Pak Ala, maka dapat dipahami bahwa keyakinan memainkan peran penting dalam proses pemulihan. Keyakinan dapat mendatangkan keajaiban yang melampaui logika manusia. Misalnya, kepala yang sudah dibelah bisa kembali menyatu tanpa bekas, seolah membelah air yang akan menyatu tanpa jejak. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya peran keyakinan terhadap keberhasilan dari proses penyembuhan. 

Meskipun ritual adat dianggap kurang relevan sebagai solusi, namun peran keyakinan dalam mempengaruhi situasi tetap penting, terutama dalam konteks indigenous counseling. Kerangka kerja ritual adat (cara adat) dalam pemulihan gangguan kejiwaan masyarakat Dayak Seberuang di masa lalu menjadi gambaran penting tentang bagaimana budaya dan spiritualitas lokal dapat memberikan solusi terhadap masalah psikologis. Cara-cara masyarakat adat dalam menyelesaikan masalah psikologis di masalah lampau, boleh jadi masih untuk dipelajari dan diadaptasi dalam konteks konseling moderen.

Manfaat ikan Belidak

Manfaat ikan Belidak

 

Manfaat Ikan Belidak


Sumber poto: Prof Zaenuddin Hadi Prasojo & Didi Darmadi, M.Pd


       Ikan belidak mungkin sudah tidak asing lagi bagi banyak orang. Ikan ini biasanya ditemukan diperairan sungai air tawar Kalimantan Barat. Banyak orang-orang memancing dan mencari ikan belidak sebagai kebutuhan makanan. Apalagi ikan belidak sangat enak jika dimasak dan diolah menjadi makanan khas Kalimantan Barat. Seperti Kerupuk basah yang diolah menjadi khas dari makanan Kapuas Hulu di Kalimantan Barat. Namun, apa saja kandungan yang ada dalam ikan Belidak tersebut? Dari sumber yang dikutip oleh betani.co.id ikan belidak mengandung banyak gizi seperti kalori 120 kal, protein 16,5 g, lemak 5,3 g, kabrohidrat 0,4 g, kalsium 52 mg, fosfor 216 mg, besi 1,1 g, Vitamin A 233 SI, Vitamin B 0,1 mg, Vitamin C 0 mg. Dari kandungan tersebut ikan ini sangat dicari oleh banyak orang.

    Selain itu, ikan Belidak juga memiliki kandungan omega 3. Omega ini menurut para peneliti membuktikan bahwa asam lemak omega-3 terbukti secara signifikan mengurangi resiko kematian mendadak yang disebabkan oleh aritmia jantung dan semua penyebab kematian pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang diketahui. Selain itu, dosis asam lemak omega-3 yang tinggi diperlukan untuk mengurangi peningkatan kadar trigliserida (2 hingga 4 g per hari) dan untuk mengurangi kekauan di pagi hari dan jumlah sendi lunak pada pasien dengan rheumatoid arthritis (setidaknya 3 g perhari) serta penurunan tekanan darah yang sederhana terjadi dengan dosis asam lemak omega 3 yang jauh lebih tinggi. Dengan mengkonsumsi ikan belidak dapat membantu Kesehatan seseorang.

Eksistensi Sampan Sebagai Alat  Transpotasi Air Masyarakat Tepian Sungai Kapuas

Eksistensi Sampan Sebagai Alat Transpotasi Air Masyarakat Tepian Sungai Kapuas

 



 Sampan menjadi alat tranpotasi bersejarah bagi masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai-sungai besar yang melintasi Kalimantan Barat seperti, Sungai Kapuas, Sungai Landak, dan sungai-sungai lainnya. Sampan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak dulu, karena Sampan menjadi alat transpotasi yang paling efektif digunakan untuk menghubungkan aktivitas sosial menyeberangi sungai.

      Sampan tidak hanya digunakan oleh masyarakat yang tinggal di tepian sungai-sungai besar seperti Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Masyarakat yang tinggal di daerah perkampunganpun juga menggunakan Sampan sebagai alat transpotasi guna mendukung aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Sampan adalah perahu kecil yang terbuat dari kayu, masyarakat Kalimantan Barat biasanya menggunakan Kayu Belian untuk membangun badan Sampan, karena memang kayu ini memiliki tekstur yang keras dan tidak mudah busuk terkena air. Selain Kayu Belian, kayu-kayu lain juga digunakan menjadi bagian dari badan sampan, kayu-kayu tersebut diantaranya adalah kayu mahoni, kayu nangka, kayu sengon, dan kayu-kayu lainnya. Namun seiring perkembang zaman, saat ini juga banyak Sampan yang dibuat dengan menggunakan bahan baku viber.

      Pada awalnya, Sampan digunakan sebagai alat transpotasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari, karena memang daerah Kalimantan Barat merupakan daerah dengan keberadaan sungai yang sangat banyak. Sampan digunakan untuk melakukan hubungan dengan masyarakat yang berada diseberang sungai. Selain itu, Sampan digunakan untuk mencari ikan, berburu, dan pergi ke kebun yang terletak di tengah hutan. Hidup menyusuri sungai dalam melakukan aktivitas sosial dan ekonomi sudah menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Barat.

      Penggunaan Sampan pada zaman dulu juga sebagai penunjang karena dulu daerah Kalimantan Barat masih berupa hutan belantara, dan dengan menggunakan Sampan masyarakat bisa memangkas waktu perjalanan yang lebih singkat daripada harus melakukan perjalanan darat membelah hutan. Sampan dapat dikendalikan dengan menggunakan dayung yang terbuat dari kayu yang masing-masing ujungnya dibuat pipih agar bisa mendorong air dan membuat Sampan bergerak. Bentuk dayung dibuat dengan selera pemiliknya, karena selain dayung yang mempunyai pipih di kedua sisinya, ada juga dayung yang dibuat pipih pada salah satu sisi saja dan sisi sebaliknya digunakan sebagai pegangan untuk mengayunkannya ke dalam air. Selain berfungsi sebagai penggerak Sampan agar dapat berjalan diatas air, dayung juga berfungsi sebagai alat pengendali Sampan agar Sampan dapat berjalan sesuai dengan kehendak pengemudinya.

Seiring berkembangnya zaman dan munculnya teknologi, saat ini Sampan banyak yang sudah menggunakan mesin perahu yang di pasang di bagian belakang. Fungsi mesin ini dapat mendorong perahu berjalan cepat diatas air dan tidak memerlukan tenaga manual seperti menggunakan dayung. Dengan menggunakan mesin, Sampan bisa berjalan dengan cepat diatas air dan dapat dengan cepat menjangkau tempat tujuan. 

Pemanfaatan Sampan sebagai alat transpotasi penyeberangan Sungai Kapuas di Pontianak telah dilakukan sejak lama. Hal ini menjadi eksistensi Sampan yang terus bertahan dan tak lekang oleh perkembangan zaman. Meskipun di Kota Pontianak sudah dibangun jembantan yang saling menghubungkan, Sampan tetap menjadi sarana transpotasi yang terus dijaga kelestariannya oleh masyarakat di sekitar tepian Sungai Kapuas. Dengan modernisasi menggunakan mesin perahu, Sampan saat ini juga menjadi sarana transpotasi air  yang menunjang perekonomian masyarakat karena Sampan bisa disewakan untuk sarana transpotasi wisata menyusuri Sungai Kapuas.

     Hampir setiap masyarakat yang tinggal di tepian Sungai Kapuas dan Sungai Landak, sebagian banyak dari mereka mempunyai Sampan, baik untuk digunakan sendiri sebagai alat tranpotasi air pribadi atau untuk disewakan dengan membuka jasa layanan penyeberangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hampir setiap saat ketika siang hari kita dapat melihat lalu lalang Sampan yang melintas baik di Sungai Kapuas maupun Sungai Landak. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi Sampan tidak pernah pudar digunakan oleh masyarakat tepian sungai.

    Dengan semakin kreatifnya masyarakat saat ini, Sampan yang dulunya identik dengan warna alami kayu. Saat ini Sampan sudah dimodifikasi dengan menambahkan atribut-atribut yang memperindah Sampan, seperti mengecatnya menjadi warna-warni atu menambahkan tempat duduk yang terbuat dari busa. Sehingga dapat menambah kenyamanan penumpang ketika menaiki Sampan.

Sampan sebenarnya bernnama perahu Tiongkok yang terbuat dari kayu dan memiliki ukuran panjang sekitar 3-6 meter dan lebar 1-1 1/5 meter, namun bisa juga lebih besar sesuai kebutuhan orang yang membuat Sampan. Di Sungai Kapuas dan Sungai Landak saat ini Sampan menjadi salah satu sumber ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar sungai. Penyedian jasa transpotasi penyeberangan dilakukan sebagai mata pencaharian. Jasa pennyeberang ini juga terbilang murah, hanya sekitar Rp 10.000 sampai Rp 15.000/orang yang ingin menggunakan jasa mereka untuk menyeberang Sugai Kapuas dan Sungai Landak.



Penulis    : Zakaria Effendi
publikasi : 12 Maret 2021




Sejarah Singkat Republik Langfang, Republik Pertama Di Dunia Yang Terletak Di Mandor,  Kalimantan Barat

Sejarah Singkat Republik Langfang, Republik Pertama Di Dunia Yang Terletak Di Mandor, Kalimantan Barat

Republic Of Langfang adalah Republik pertama di dunia yang berada di pelosok Kalimantan Barat, Republik Langfang bertelak di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat. Monumen sejarah yang menjadi peninggalan dari republik ini adalah sebuah makam dengan nisan tua dengan keterangan dari tulisan mandarin. Menurut cerita warga setempat makam ini merupakan makam dari Presiden pertama Langfang. Republik Langfang merupakan sebuah kongsi Tionghoa yang bertahan paling lama, yaitu sejak tahun 1777 sampai dengan tahun 1884. Banyak versi yang mengisahkan berakhirnya kekuasaan Republik Langfang di Mandor, diantaranya disebabkan oleh infansi yang dilakukan oleh Belanda untuk menguasi wilayah Mandor dan sekitarnya di Kalimantan Barat.

       Awal kisah berdirinya Republik Langfang tidak terlepas dari peran kerajaan Melayu di Kalimantan Barat. Pada awalnya para Sultan Kerajaan di Kalimantan Barat mendantangkan pekerja dari China pada abad ke-18 untuk bekerja pada pertambangan emas di Mandor. Keberadaan orang-orang China di Mandor sendiri disebabkan atas usaha yang dilakukan oleh Raja Panembahan Mempawah Opu Daeng Manambon. Selain itu, sekitar tahun 1750 M Sultan Sambas yaitu Sultan Abubakar Kamalludin juga mendatangkan orang-orang China untuk pertama kali diwilayah pertambangan emas Kesultanan Sambas yaitu di daerah Montraduk, Seminis dan Lara.

       Nama Republik Langfang sendiri didirikan sesuai dengan nama pemimpinya yaitu Lo Fong Pak yang pertama kali berlayar di usia 34 tahun, dia datang ke Kalimantan Barat saat mulai ramainya orang-orang mencari emas. Dengan menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam dan kemudian berlabuh di Kalimantan Barat tepatnya di daerah Kesultanan Sambas pada usia ke 41 tahun pada tahun 1774 M.

       Seiring bergantinya Kesultanan di Sambas yang menyebabkan para pekerja pertambanagan emas di Kesultanan Sambas semakin banyak, akhirnya mereka membuat kelompok berdasarkan wilayah pertambangan masing-masing. Pada sekitar tahun 1768 M, kelompok-kelompok pekerja China mendirikan sebuah perkumpulan usaha tambang masing-masing yang disebut dengan istilah Kongsi. Pada awalnya kongsi yang didirukan oleh para pekerja pertambangan emas menyatakan tunduk kepada Sultan Sambas namun kongsi-kongsi tersebut diberikan keleluasaan oleh Sultan Sambas pada saat itu untuk mengatur kongsinya masing-masing. Untuk masalah hasil dari pertambangan emas sendiri disepakati bahwa seluruh kongsi wajib menyisihkan hasil tambang secara rutin untuk di berikan kepada Kesultanan Sambas sebagai pemilik kekuasaan didaerah itu. Pada saat itu Sultan Sambas menerima bagian kurang lebih 1 kg emas murni setiap bulan dari hasil kong-kongsi tersebut.

     Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1770 M terjadi gejolak antara kongsi-kongsi pekerja China dan Kesultanan Sambas. Gejolak tersebut dilatarbelakangi oleh penolakan para kongsi pekerja China untuk memberikan bagian dari hasil pertamabang emas sebanyak 1 kg emas kepada Kesultanan Sambas seperti yang sudah rutin di lakukan sebelumnya. Para pekerja China hanya bersedia memberikan setengah kilogram emas ssetiap bulan, atau setengah dari kesepakatan sebelumnya. Selain masalah pembangkangan dalam perubahan bagi hasil, orang-orang kongsi China pada saat itu juga beberapa kali melakukan pembunuhan terhadap orang-orang dilingkungan Kesultanan Sambas yaitu orang-orang Dayak yang bertugas untuk mengawasi pertambangan emas atas perintah Sultan Sambas.

      Dengan kejadian pembangkangan yang dilakukan oleh para pekerja pertambangan yang tergabung dalam kongsi-kongsi, akhirnya Sultan Sambas pun marah dan mengerahkan pasukan untuk mendatangi daerah-daerah pertambangan dan terjadi pertempuran antara kongsi-kongsi dan pasukan Kesultanan Sambas. Pertempuran ini dimenangkan oleh pasukan dari Kesultanan Sambas dan membuat kongsi-kongsi ketakutan dan mau mengembalikan kesepakatan bagi hasil tambang emas seperti semula, yaitu dengan memberikan 1 kg emas murni setiap bulan untuk Kesultanan Sambas.

      Adapun versi lain yang menceritakan sejarah terjadinya gejolak antara Kesultanan Sambas dengan kongsi di awali dengan kerjasama antara Kesulatanan Sambas dan Kesultanan Pontianak. Kesultanan Pontianak terus ditekan untuk memusuhi Kongsi sehingga Kerajaan-Kerajaan mengirimkan pasukan-pasukan untuk menyerang Kongsi pekerja China di daerah-daerah pertambangan emas. Pada akhirnya Kongsi-Kongsi ini berjumlah sangat banyak, sekitar tahun 1770 M diperkirakan jumlah Kongsi mencapai 10 Kongsi di wilayah Kesultanan Samban. Dari 10 Kongsi tersebut terdapat dua Kongsi yang paling kuat yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong. Pada Tahun 1774 M terjadi pertempuran anatara keduanya  yang pada akhirnya dimenangkan oleh Kongsi Thai Fong.

     Pada tahun 1776 M terdapat 14 Kongsi pekerja tambang emas China, 12 Kongsi berpusat di Montraduk dan 2 Kongsi lagi di wilayah Panembahan Mempawah yang berpusat di daerah Mandor. Dua Kongsi ini menyatukan diri dalam wadah lembaga yang bernama Hee Soon, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat mereka dari ancaman pertempuran sesama Kongsi seperti yang sudah pernah terjadi antara Kongsi Tahi Kong dan Lang Fong pada tahun 1774 M.  salah satu Kongsi dari 14 Kongsi tersebut adalah Kongsi Langfong yang didirikan kembali oleh Long Fong Pak dengan dia sendiri yang menjadi ketuanya.

     Setahun setelah itu, pada tahun 1777 M Lo Fong Pak memindahkan lokasii Kongsi Lanfong ke lokasi lain dimana lokasi Kongsi Lanfong yang baru tidak lagi di wilayah Kesultana Sambas, akan tetapi di wilayah Panembahan Mempawah atau tepatnya di daerah Mandor (Tung Ban Lut). Walaupun mempunyai kelompok induk yaitu Hee Soon, Kongsi-Kongsi  ini tetap menyatakan tunduk dibawah Kesultanan Sambas dan Panembahan Mempawah. Namun Kongsi-Kongsi diberi wewenang sendiri untuk mengangkat ketua dari kelompok mereka yang kemudian bertugas mengatur pertambangan dan wilayah sesuai yang dengan yang sudah disepakati.Long Fong Pak di Mandor kemudian menyatukan orang-orang Hakka di wilayah mereka untuk bergabung dalam organisasi  San Shin Cing Fu karena pada saat itu banyak orang-orang China yang berasal dari Suku lain.

      Singkat cerita dengan  berkuasanya Sutan Syarid Abdurahman di muara Sungai Lndak membuat Kongsi Lanfong bergantung pada aktivitas di muara sungai itu, sehingga hal ini membuat Lo Fong Pak menjadi lebih dekat dengan Kesultanan Pontianak daripada dengan Panembahan Mempawah meskipun daerah Kongsi mereka di bawah naungan Panemabahan Mempawah. Pada tahun 1789 M Sultan Pontianak dengan didukung Belanda melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah Panembahan. Untuk mendukung serangan ini, Sultan Pontianak saat itu juga mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Langfong) untuk ikut serta dalam pasukan Kesultanan Pontianak untuk menyerang Panembahan Mempawah. Dalam pertempuran ini Panembahan Mempawah kalah kemudian pergi meninggalkan Mempawah dan menetap didaerah Karangan. Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak menjadi semakin dekat dengan Kesultanan Pontianak. Pada akhirnya Kongsi Langfong diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengatur wilayah Kongsinya namun tetap dibawah naungan Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia Lo Fong Pak pimpinan dari Kongsi Langfong berusia 57 tahun.

      Cara pemilihan pemimpin yang dilakukan oleh Kongsi Langfong menceriminkan sebuah kemajuan berfikir mereka dengan menggunakan metode suara terbanyak dalam pemilihan untuk menentukan siapa yang menjadi ketua dari mereka. Menurut pemahan saat ini hal seperti itu adalah sebuah cara demokratis dalam mennentukan pilihan dalam suatu kelompok orang.  Seorang sejarawan Belanda yang bernama J.J. Groot yang menerjemahkan tulisan Yap Siong Yoen atau anak tiri dari kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir. Dia mengiterpretasikan bahwa apa yang yang dilakuakn Kongsi Lanfong (Lanfang) terlalu jauh kemudian Lanfang diartikan sebagai Republik Lanfang.

     Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali melalui system pemilihan umum untuk menjabat sebagai ketua daerah Kongsi Lan Fong, dan diberi gelar Ta Tang Chung Chang yang berate Kepala daerah otonomi dalam bahasa Mandarin. Peraturan Kongsi Lan Fong menyebut bahwa posisi ketua dan wakil ketua Kongsi Lan Fong harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka (sebuah suku dari bangsa Tionghoa).

    Selain monumen berupa Makam tua yang menjadi peninggalan sejarah dari keberadaan Republik Langfang. Hingga saat ini masih ditemukan sisa-sisa pemukiman dari Kongsi Lanfang dan juga masih ditemukan keturunan-keturunan dari orang-orang yang bergabung dalam Kongsi tersebut. Selain itu, keberadaan bekas tambang emas berupa padang pasir putih menjadi saksi bisu yang mengisahkan betapa dahsyatnya pertambangan yang pernah dilakukan di daerah Mandor. Padang pasir tersebut merupakan sebuah fenomena broken forest dari cara pertambang tradisonal yang dilakukan oleh Kongsi-Kongsi China di masa lalu. Wilayah ini sangat sulit untuk di restorasi karena penggalian tanah yang terlalu dalam, sehingga permukaan sampai beberapa meter kedalam merupakan bebatauan dan pasir yang tandus. Sehingga sangat sulit untuk memperbaiki kkerusakan alam akibat peambangan emas yang pernah dilakukan pada zaman dulu.

       Meskipun menjadi monumen kerusakaan alam yang memprihatinkan, bekas tambang emas ini juga menciptakan pemandangan yang menajubkan. Hamparan pasir pustih yang luas di tengah hutan menjadikan daerah ini seperti padang pasir yang tersembungi di dalam hutan. Di bekas tambang emas ini juga terdapat danau kecil yang terbuat dari bekas galian yang terisi air hujan dan aliran mata air dari celah-celah bebatuan. Sehingga bekas tambang emas di mandor juga bisa dijadikan destinasi wisata sejarah dan pembelajaran bagi akademisi-akademisi yang mengkaji tentang hutan dan pertanahan. Karena bekas tambang emas seperti ini membutuhkan solusi dan menjadi ladang praktik untuk menemukan cara merestorasi atau memperbaiki. Keberadaan bekas tambang emas ini tidak jauh dari letak monumen makam Presiden pertama Langfang. Bekas tambang emas ini terletak disekitar Taman Makam Pahlawan Mandor.



Penulis : Zakaria Effendi 
Publish : 1 Maret 2021
 

Sungai Kapuas Punye Cerite

Sungai Kapuas Punye Cerite

 


Sungai Kapuas adalah sungai yang menjadi ikon Provinsi Kalimantan Barat dan juga kota Pontianak. Sungai Kapuas adalah sungai terpanjang di Kalimantan Barat, bahkan di Indonesia dengan panjang 1.143 km yang membetang dari hulu hingga ke hilir. Sungai Kapuas Punye Cerite sendiri menjadi salah satu lirik  lagu yang diciptakan oleh Paul Putra Frederick dengan judul Aek Kapuas. Secara bahasa Sungai Kapuas Punye Cerite berarti Sungai Kapuas Punya Cerita, namun kalimat ini mempunyai makna mendalam yang menggambarkan keindahan Sungai Kapuas dan sekitarnya.

        Sungai Kapuas selalu menjadi destinasi yang wajib untuk dikunjungi, baik oleh masyarakat lokal kota Pontianak dan Kalimantan Barat. Sungai Kapuas menjadi salah satu tempat yang wajib di kunjungi untuk orang-orang dari luar daerah Kalimantan Barat, bahkan luar negeri. Karena letaknya yang strategis dan melintasi kota Pontianak, Sungai Kapuas sangat mudah untuk diakses. Dengan mengunjungi ikon suatau daerah yang kita kunjungi maka kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga.

       Nongkrong di tepian Sungai Kapuas sangat asik dilakukan di sore hari sambil melihat keindahan langit Khatulistiwa saat Matahari mulai terbenam. Apalagi saat ini Pemerintah kota Pontianak juga sedang membangun destinasi wisata di Sungai Kapuas, dengan menata pinggiran Sungai Kapuas menjadi semakin rapi dan bagus. Pemerintah kota Pontianak juga sudah membangun Waterfront atau Taman Kota di tepian Sungai Kapuas, sehingga tempat ini biasa digunakan sebagai wahana berkumpul bersama keluarga, kerabat dan sahabat sambil menikmati keindahan Sungai Kapuas.



Bagi pengunjung yang tertarik untuk menyusuri Sungai Kapuas dengan karifan lokal, pengunjung bisa menyewa Sampan atau Perahu kecil dengan biaya Rp 10.000/orang dengan minimal lima orang. Harga tersebut cukup murah untuk harga yang harus dibayar dengan imbalan yang diperoleh berupa pengalaman menyusuri Sungai Kapuas dengan alat tranpotasi tradisional Pontianak dan Kalimantan Barat. Jika ingin suasana menyusuri Sungai  Kapuas yang lebih ramai, pengunjung bisa naik Perahu wisata yang bersandar di alun-alun Kapuas. Selain itu terdapat juga wisata air yang disediakan oleh masyarakat setempat yaitu dengan menyewakan Kano atau perahu kecil semacam Selanjar lengkap dengan dayung plastik. Bagi pengunjung yang tidak mahir berenang juga disediakan pelampung sebagai keamanan.

     Sungai Kapuas juga menyediakan background yang indah bagi pengunjung yang ingin mengabadikan moment bersama keluarga, kerabat dan sahabat dengan berfoto bersama di tepian Sungai Kapuas. Pengunjung juga bisa menyaksikan tradisi dan kearifan  lokal masyarakat tepian Sugai Kapuas dalam melakukan aktifitasnya, seperti lalu-lalang Sampan masyarakat setempat di Sungai Kapuas, bahkan pengunjung juga bisa menyaksikan atraksi anak-anak bermain di Sungai Kapuas dengan berenang dan melakukan loncatan indah ala anak-anak tepian Kapuas.


       Dengan sarana dan prasarana yang tersedia sebagai penunjang wisata di teipan Kapuas menjadikan keunikan tersendiri. Hal ini bisa dilihat bahwa tepian Sungai Kapuas selalu ramai di datangi pengunjung di sore hari. Pengunjung dapat merasakan pengalaman baru di Sungai Kapuas dengan menyusuri Sungai Kapuas menggunakan Sampan bersama keluarga, kerabat, dan sahabat untuk mengunjungi Masjid Jami dan Kesultanan Khadriah sebagai monument sejarah Kesultanan di Pontianak. Pengunjung juga bisa mengunjungi monument Tugu Khatuliswa dengan menggunakan Sampan atau hanya sekedar menyusuri Sungai Kapuas.

       Bagi pengunjung yang takut dengan kedalaman dan air, pengunjung bisa menikmati fasilitas wisata yang tersedia lainnya. Seperti hanya sekedar menyusuri tepian Sugai Kapuas dengan berjalan-jalan santai atau dengan menyewa sepeda yang disediakan oleh penyewa di sekitar sungai Kapuas. Dengan menyewa sepeda pengunjung bisa menikmati suasana sore hari dengan bersepeda menyusuri tepian Sungai Kapuas. Selain bermanfaat bagi tubuh dengan melakukan olahraga ringan juga bermanfaat bagi rohani dengan energi baru yang bisa di peroleh dari rasa senang karena berada di tepian Sungai Kapuas.






Penulis         : Zakaria Effendi
Terbit            : 26 Februari 2021


THE BEAUFULNESS OF LESTARI BEACH IN TANAH HITAM VILLAGE, PALOH DISTRICT, SAMBAS REGENCY

THE BEAUFULNESS OF LESTARI BEACH IN TANAH HITAM VILLAGE, PALOH DISTRICT, SAMBAS REGENCY

 


Each area has its own uniqueness and natural beauty, including in Tanah Hitam Village, Paloh District, Sambas Regency. This place is an area that does not only exist in the popularity of the people of Sambas Regency but also people outside Sambas Regency. Tanah Hitam is a village located in the East Paloh Sub-district, directly adjacent to the Sajingan Besar District and East Malaysia. In this place, Malay is the most famous culture, which is also related to many tourist destinations that are able to attract tourists every day.

Lestari Beach is one of the tourist objects that quite famous and still exists from the past until now. Apart from its quite beautiful natural scenery, the location of the beach is also very strategic and easy to access, so that many people inside and outside the Sambas district tend to be interested in visiting this natural beach tourism destination. In addition, Lestari Beach has the beauty of its clean beach sand. Not everyone is able to come to the beach area because it is closely guarded by local residents. The entrance fee is affordable, which is 5000 rupiah for a motorcycle and 10,000 rupiahs for a car. This price is valid until now. Maybe, there will be an increase in prices due to the conditions of the Covid-19 pandemic.

Apart from the tourist objects, every Sunday, there is a silat (martial-art) training held by the Benteng Mukmin academy. I have seen how fighters train together on the beach. They practice every morning. What a beautiful sight when I saw their compactness. The wind and waves highlighting the shoreline made me want to join them in training. In essence, there are no words of regret when you visit Lestari beach.

Author          Ebby Abadi ( Member of the English Community Hukum Ekonomi Syariah IAIN Pontianak "The King of HES")

Photo by     Facebook, Rafi Syahputra, 2020

Publish         : February, 26th 2021

Kebudayaan Masyarakat di Sekitar Masjid Jami’ Sultan Syarief Abdurrahman Al-Kadrie

Kebudayaan Masyarakat di Sekitar Masjid Jami’ Sultan Syarief Abdurrahman Al-Kadrie

 


Masjid merupakan tempat peribadatan bagi umat Islam. Selain itu, masjid juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai tempat pelaksanaan kegiatan religius kebudayaan yang berkembang di masyarakat setempat. Berbagai kebudayaan itu tentunya akan terdapat perbedaan antar daerah. Semua ini tergantung dari kebudayaan lokal yang masih diasumsi oleh masyarakat di setiap daerah tertantu.

Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurahman Al-Kadrie memiki usia sekitar 246 tahun. Tentu ini bukan lagi usia yang muda, apalagi untuk disandingkan dengan usia Negara Indonesia yang masih sangat belia. Oleh sebab itu, wajar jika bangunan Masjid Jami’ Sultan Syarief abdurahman Al-Kadrie mengalami beberapa kali perenovasian. Dengan usia yang hampir memasuki dua setangah abad itu, tentu banyak sekali kebudayaan yang telah diwarikan dan masih dilakuakan hingga sekarang oleh masyarakat di daerah Pontinak khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar masjid.

Area masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurahman Al-Qadrie merupakan area tanah yang terpengaruh dengan pasang surut air sungai karena letaknya hanya sekitar beberapa meter dari sungai Kapuas. Jika diperhatikan, masjid ini terlihat seperti terpisah dengan keraton Kadariyah dikarenakan adanya jembatan kecil penghubung antara area keraton dan area masjid. Posisi ini seolah-olah terlihat seperti tanjung pulau yang terpisah dari lahan sekitarnya.

Menurut bapak Syarif Usman (54 tahun)  pertama kali masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dibuat sebagaimana yang dijelaskan Usman bin Abdurahman dalam tulisannya yang sampai sekarang dapat dilihat sebagai kaligrafi yang memiliki nilai estetik dan tertata juga menyimpan nilai sejarah. Kaligrafi berisi informasi sejarah berdirinya Masjid jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie berada tepat diatas mimbar. Bagi orang awam, tulisan itu hanya sebagai kaligrafi yang biasa menghiasi masjid, namun bagi seorang peneliti yang terlebih yang ahli bahasa arab akan melihatnya sebagai litesi.

Kebudayaan Masyarakat Pontianak

Menurut Van Peursen (2001: 9) kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia. Berdasarkan data hasil wawancara dengan pak Safendi sebagai ketua RT (4/11/2017) mengatakan jumlah penduduk di kampung tersebut 1260 penduduk, 467 KK,  420 RT 120 RW dan 7 kelurahan. Jika dilihat dari data yang diperoleh tersebut terlihat cukup banyak masyarakat yang menempati daerah kampung beting.  Bapak Syarif Selamat Joesoef Al-Kadrie atau yang lebih akrab disapa Abah Simon yang ditemui di rumahnya  mengungkapkan bahwa banyak sekali kegiatan yang dilakukan masyarakat di sekitar masjid. Adapun diantaranya adalah seprahan, kegiatan ini sedikit berbeda dengan tradisi saprahan yang ada di Sambas ataupun Singkawang. Dari penamaannya juga sudah menunjukkan adanya sedikit perbedaan antara tradisi seprahan di Pontianak dengan saprahan di Sambas dan Singawang. Jika Saprahan setiap orang makan dengan hidangan di dalam talam dengan anggota kelompok sekitar 5-6 orang, maka Seprahan memungkinkan setiap orang makan saling berhadapan di tempat yang sama menggunakan daun pisang yang dipanjangkan.

Sejarah kegiatan secara rutin dilakukakan masjid Sultan Syarif Abdurrahman sulit diperoleh, beberapa sumber memastikan bahwa setiap hari besar Islam dilangsungkan di masjid ini. Terutama saat perayaan maulid nabi Muhammad saw. secara turun-temurun diselenggarakan dengan berbagai kegiatan seperti arak-arakan (Kirap) dari masjid ke alun-alun keraton Kadariah, khitanan massal, pernah juga diadakan pernikahan massal sekitar tahun 1930-an.

Beberapa sumber memastikan bahwa dahulu segala kegiatan (hajat) yang dilakukan keraton Kadariyah senantiasa melibatkan kegiatan pula di lingkungan masjid. Melihat para pendahulunya yang sering dalam menyebarkan syi’ar Islam dengan berprinpsip kepada toleransi budaya yang tinggi, sangat mungkin bahwa masjid Sultan Syarif abdurahman merupakan wadah pengembangan kebudayaan Islam di masa lalu, tidak terlepas pada kegiatan peribadatan. Sekarang ini acara serupa masih dilangsungkan, terutama hari-hari besar Islam. Dan peringatan hari jadi kota Pontianak sampai sekarang masih diselenggarakan di masjid Sultan Syarif Abdurrahman, yang dihadiri oleh Walikota beserta PEMDA kota Pontianak disertai warga sekitar masjid. Selain itu pada bulan Ramadhan, masjid Sultan Syarif Abdurrahman juga menyelenggarakan kegiatan pembinaan keagamaan yang ditujukan kepada  generasi muda (remaja) yakni kegiatan “Perkampungan Ramadhan” yang dilangsungkan selama beberapa hari diawal bulan ramadhan. Serta masjid Sultan Syarif Abdurrahman membuka unit pengelola zakat yang melakukan pengumpulan dan penyaluran zakat fitrah,zakat maal, infaq,dan shadaqah pada bulan ramadhan serta melakukan penyembelihan dan penyaluran hewan qurban pada hari raya idul Adha.

Selain penjelasan di atas, ada pula kebudayaan lain yang dilakukan masyarakat sekitar masjid sebagaimana yang dijelaskan oleh pak penjaga masjid, seperti minum  air berkah dan awet muda di tempayan yang berada di pojok kiri bagian belakang masjid. Terdapat dua buah tempayan yang selalu diisi oleh penjaga masjid setiap ada hujan di hari jum’at sebagai simbol keberkahan.

Kebetulan pula pak penjaga Masjid mendapat cucu perempuan yang baru seminggu dilahirkan, kemudian bayinya dibawa ke mimbar utama, berdasarkan informasi yang di dapat ternyata itu sudah menjadi tradisi bagi pak penjaga Masjid dan masyarakat sekitar masjid untuk mendo’akan kebaikan dan keselamatan bagi bayi yang baru lahir dengan memanjatkan do’a-do’a untuk si bayi. Walau demikian, tidak semua warga masih mau melakukan tradisi tersebut, karena memang setiap kebudayaan pasti akan mengalami pergeseran-pergeseran selaras dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.


Penulis        : Dayang Rusna Almuharni

Publish       : 13 Desember 2020


Bukit Kelam, Batu Raksasa Yang Terbaring Di Bumi Senentang

Bukit Kelam, Batu Raksasa Yang Terbaring Di Bumi Senentang

 

     Bukit Kelam atau Gunung Kelam merupakan sebuah batu raksasa (monoloit) yang terletak di Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Sintang. Karena ukurannya yang sangat besar batu ini berbentuk layaknya bukit atau gunung dan memiliki ketinggian 1.002 meter diastas permukaan laut (mdpl). Mayoritas masyarakat Sintang dan juga Kalimantan barat menyebut batu tersebut dengan Bukit Kelam. Ukurannya yang menjulang tinggi membuat Bukit Kelam Nampak gagah jika di lihat dari dekat.

      Posisi Bukit Kelam membentang dari barat ke timur dan menjadi salah satu icon kota Sintang di Kalimantan barat. Bukit Kelam terletak di wilayah Hutan Wisata kecamatan Sintang Permai, kabupaten Sintang Kalimantan barat. Jarak Bukit Kelam dengan pusat Kota Sintang sekitar 20 km dan 395 km dari kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan barat.

        Selain menjadi tempat wisata dengan background Bukit Kelam yang indah, Bukit Kelam juga menjadi tempat bagi para pecinta alam dari berbagai daerah untuk melakukan pendakian. Bukit Kelam bisa  di naiki dengan waktu sekitar 4-5 jam. Dinding batu yang curam membuat tidak sembarangan orang bisa menaiki Bukit ini, bagi siapa saja yang ingin mendaki Bukit Kelam hendaknya sudah terlatih dan melakukan persiapan yang matang.

    Namun bagi sebagian orang yang suka dengan tantangan, Bukit Kelam menjadi salah satu opsi. Tingkat kecuraman Bukit Kelam terbilang cukup ekstrem daripada Gunung-gunung biasanya yang cenderung landai. Sehingga hal tersebut menarik para pendaki dari berbagai daerah di Kalimantan barat untuk mencoba sensasi dan tantangan mendaki Bukit Kelam.

Bukit Kelam juga menjadi habitat alami dari tumbuhan langka Kantong Semar, dilansir dari Jurnal Redfern Natural History, MPherson, S.R pernah menulis jurnal pada tahun 2009 dengan judul Pitcher Plants of the old World dimana didalamnya dijelaskan bahwa Bukit Kelam merupakan salah satu habitat yang dikenal paling penting di dunia untuk tanaman Kantong Semar. Bukit Kelam juga menjadi rumah bagi 14 spesies yang berbeda, salah satunya yang endemik dan hanya bisa di temukan di Bukit Kelam adalah Nepenthes Clipetea yang sampai saat ini di anggap menjadi jenis spesies yang paling terancam punah dari spesies lainnya.

    Tanaman Kantong Semar tummbuh disisi tebing granit vertical pada ketinggian antara 500-800 meter. Sebagaian besar tanaman Kantong Semar tumbuh di sudut-sudut jelas dari bukit jauh dari jangkauan. Selain Kantong Semar, Bukit Kelam juga menjadi habitat Anggrek Hitam, sedangkan hewan yang hidup di Bukit Kelam adalah Beruang Madu dan Trenggiling. Selain itu gua-gua yang terdapat di celah-celah Bukit Kelam juga menjadi tempat tinggal dari burung wallet dan burung-burung lainnya.

    Sejarah terbentuknya Bukit Kelam yang menjadi cerita legenda yang berkembang pada masyarakat Sintang dan di ceritakan secara turun-temurun adalah cerita tentang seorang sakti yang bernama Bujang Beji yang memikul sebongkah batu dari Kapuas Hulu untuk membendung sungai Melawi. Hal tersebut dilakukan karena Bujang Beji merasa iri dengan Temenggung Marubai yang menguasai sungai Melawi. Selain itu karena rasa iri hati Bujang Beji yang selalu mendapat tangkapan ikan yang lebih sedikit dari Tumenggung Marubai. Karena itu membuat ia ingin membendung aliran sungai melawi dengan batu besar pada hulu sungai melawi. Akan tetapi saat dalam perjalanan, para Dewi di kahyangan menertawainya sehingga membut Bujang Beji marah dan tali pengikat yang terbuat dari rumput putus. Batu tersebut kemudian jatuh di sebuah lembah yang bernama Jetak, Bujang Beji berusaha mengangkat kembali batu tersebut, namun batu tersebut sudah melekat dan tidak bisa diangkat lagi. Selain cerita masyarakat tersebut, keberadaan Bukit Kelam dikabarkan sebagai sebuah Meteor yang jatuh di Kota Sintang pada jutaan tahun yang lalu.

    Bukit Kelam memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai wisata alami  yang terdapat di Kabupaten Sintang. Keindahan alam yang masih asri harus dijaga kelestariannya, karena selain sebagi simbol atau icon Kota Sintang. Bukit Kelam juga menjadi simbol bagi kelestarian alam di tengah masifnya perkembangan perkebunan Kelapa Sawit yang membabat sebagian hutan di Kalimantan barat dan Kalimantan tengah.

      Bukit Kelam juga menjadi sarana bagi wisata alam dan pusat studi kearifan lokal Kota Sintang. Wisatawan yang datang dari luar daerah bisa sekaligus belajar tetang kehidupan masyarakat Dayak di sekitar Bukit Kelam yang menjaga kelestarian Bukit Kelam sehingga kearifan lokal masih bertahan hingga sekarang. Keunikan-keunikan tradisi dan budaya masyarakat di sekitar Bukit Kelam nilai tambah bagi wisatawan yang hendak berlibur ke Bukit Kelam.

 

Penulis/ Author  : Zakaria Effendi

Published            : 4 Desember 2020