Pemulihan Gangguang Kejiwaan pada Mayarakat Dayak Seberuang di Era 1970-an

Pemulihan Gangguang Kejiwaan pada Mayarakat Dayak Seberuang di Era 1970-an

 


Oleh: Saripaini

Dosen Luar Biasa (DLB)

IAIN Pontianak



Suatu hari di sela-sela kegiatan pendampingan menulis bagi masyarakat Adat di Rumah Punjung, saya dihampiri oleh Pak Ala, seorang tokoh Adat Dayak di kawasan Tempunak, Kabupaten Sintang. Pak Ala antusias menceritakan tentang tradisi perawatan mental yang berkembang pada masyarakat Dayak pada tahun 1970-an. Cerita ini langsung menarik perhatian saya, karena beberapa tahun terakhir saya cukup tertarik dengan diskusi indigenous counseling. Rasanya seperti menemukan benang merah antara cerita Pak Ala dengan minat saya, yang mebuat obrolan kami semakin asyik. Pak Ala memulai ceritanya sambil memegang kotak pengobatan yang biasa digunakan dukun sebagai tempat peralatan perdukunan, seperti jimat, batu, minyak, dan lain sebagainya. Tempat obat yang diwarnai merah hitam itu, diukir wajah kemungkinan gambaran makhluk yang mendapingi dukun. Menurut penuturan Pak Ala, dahulu, ketika masyarakat Dayak jauh dari jangkauan medis dan belum memeluk agama, pengobatan dilakukan secara tradisional yang kerap dirangkaikan dengan ritual adat. Satu di antara penyembuhan yang dilakukan melalui ritual adat penyembuhan sakit gila. Gila biasanya dialami oleh perempuan pasca melahirkan. Menurut pengetahuan yang berkembang pada masyarakat Dayak Desa dan Seberuang di kawasan Tempunak kala itu, perempuan pasca melahirkan memang rentan mengalami kegilaan, karena lebih rentan diganggu oleh makhluk halus. Ya, di masa lampau masyarakat Dayak meyakini bahwa kegilaan yang dialami oleh manusia disebabkan oleh gangguan jin/makhluk halus. Jin pengganggu dapat menyebabkan seorang lupa dengan dirinya, anak, suami, serta keluarga.

Untuk menyembuhkan penyakit gila, masyarakat Dayak akan melaksanakan ritual yang cukup besar, dengan 7 ekor ayam dan 3 ekor babi sebagai sejaji. Ritual dipimpin oleh seorang dukun yang menjadi perantara antara manusia dengan roh leluhur atau jin pengganggu. Dalam proses penyembuhan, dukun dengan bantuan jin ular sawa disertai mantra akan membelah kepala orang yang gila dengan senjata yang sangat tajam (parang), sehingga kepala si pasien terbuka dan darah menjiprat. Tindakan tersebut diyakini sebagai proses pengeluaran jin dari dalam tubuh manusia. Kemudian setelahnya dukun akan mengusap kepala pasiennya dengan tangan, sehingga tidak kelihatan luka sama sekali. Kepala yang dibelah hingga berdarah, kembali utuh tampa bekas luka.

Setelahnya pasien hanya akan merasakan lemah dan hanya perlu dirawat hingga kembali pulih, sementara gilanya sudah sembuh. Dia telah bisanya mengingat diri, anak, dan suaminya. Mereka meyakini bahwa jin pengganggu telah dikeluarkan saat kepala dibelah. Dukun telah berhasil bernegosiasi dengan jin pengganggu dengan memberikannya sesajian dan memintanya untuk kembali ke tempat semula. 

“Wah, menarik-menarik,” reaksiku di akhir cerita sambil menyimpan kengerian membayangkan saat kepala dibelah dengan senjata tajam dan darahnya muncrat ke mana-mana. “Kalau sekarang bagaimana pak? Apa ritual itu masih dilakukan?”

“Tidak lagi. Sekarang kita sudah mengenal medis, serta sudah memeluk agama. Semenjak beragama, makhluk halus seperti itu sudah tidak mau lagi mendekat, karena masyarakat tidak percaya.”

“Jadi ini adalah tentang kepercayaan ya pak, kalau tak percaya pengobatannya tidak akan berhasil.”

“Iya.”

Keyakinan sebagai Instrumen Utama dalam Proses Pemulihan 

Meskipun zaman dan teknologi terus berkembang, serta kehidupan beragama semakin maju, catatan sejarah dan pengetahuan lokal yang pernah berkembang di dalam ruang sosial masyarakat adat tidak bisa dihapus. Tindakan yang saat ini dilabeli dengan istilah “mitos” ternyata pernah menjadi bagian dari alternatif pemecahan masalah yang pernah mentradisi. Dalam kata lain, praktik ritual adat terhadap pemulihan gangguan kejiwaan yang berkembang pada Dayak Seberuang telah teruji melalui pengalaman masyarakat adat.

Tapi, saat ini pengobatan melalui ritual adat kerap dianggap tidak relevan lagi. Salah satu alasannya adalah kemanjuran pengobatan secara tradisional kerap kali tidak dapat dibuktikan. Hal ini berkaitan dengan keyakinan, menurut masyarakat adat pengobatan tradisional akan efektif jika dilakukan tanpa keraguan.  Tapi, sebagai kelompok masyarakat yang telah memeluk agama, mereka juga dihadapkan pada tuntutan untuk tidak melanggar aturan agama melalui riual adat yang dianggap bertetangan. Posisi dilematis ini memicu keraguan, sehingga ritual adat yang semula menjadi alternatif penyelesaian masalah, justru dipandang sebagai tindakan yang bermasalah. Fenomena ini menampilkan bahwa telah terjadi transformasi budaya dalam kehidupan masyarakat Dayak Seberuang di Sintang. 

Terlepas dari difungsi ritual adat sebagai alternatif penyelesaian masalah, saya melihat bahwa keyakinan adalah kunci penting dalam proses pemulihan. Diskusi tentang bagaimana keyakinan memiliki kapasitas untuk mempengruhi situasi terasa penting dan menarik, karena keyakinan kerap kali memberikan kekuatan tersendiri dalam menghadapi masalah. Dalam konteks pemulihan ini, keyakinan menjadi instrumen utama keberhasilan proses pemulihan. Orang yang yakin dengan proses penyembuhan, baik secara spiritual maupun emosional, cendrung mengalami hasil yang lebih positif.

Berdasarkan penuturan dari Pak Ala, maka dapat dipahami bahwa keyakinan memainkan peran penting dalam proses pemulihan. Keyakinan dapat mendatangkan keajaiban yang melampaui logika manusia. Misalnya, kepala yang sudah dibelah bisa kembali menyatu tanpa bekas, seolah membelah air yang akan menyatu tanpa jejak. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya peran keyakinan terhadap keberhasilan dari proses penyembuhan. 

Meskipun ritual adat dianggap kurang relevan sebagai solusi, namun peran keyakinan dalam mempengaruhi situasi tetap penting, terutama dalam konteks indigenous counseling. Kerangka kerja ritual adat (cara adat) dalam pemulihan gangguan kejiwaan masyarakat Dayak Seberuang di masa lalu menjadi gambaran penting tentang bagaimana budaya dan spiritualitas lokal dapat memberikan solusi terhadap masalah psikologis. Cara-cara masyarakat adat dalam menyelesaikan masalah psikologis di masalah lampau, boleh jadi masih untuk dipelajari dan diadaptasi dalam konteks konseling moderen.

Load comments